Ketika membaca berita di salah satu portal berita nasional, miris juga melihat ‘perseteruan antara RIM selaku principal Blackberry dengan pemerintah RI. Menurut pernyataan Bp. Heru Sutadi selaku anggota Komite BRTI, menyatakan bahwa RIM telah melanggar sejumlah kesepakatan dengan pemerintah beberapa waktu yang lalu, diantaranya membangun network aggregrator di Indonesia. Namun sayangnya, sampai dengan akhir tahun 2011 ini, RIM masih juga ingkar janji (baca: detik.com). Padahal sebenarnya Indonesia adalah market strategis RIM di asia, bahkan secara global Indonesia adalah pasar utama dari RIM. Mengapa kita tidak memiliki bargaining position yang tinggi terhadap perusahaan asal Kanada tersebut? Berikut ini penulis coba melakukan riset kecil-kecilan yang dirangkum dari beberapa sumber
Akar masalah
Sebelumnya mari kita lihat data dan fakta tentang penetrasi blackberry sebagai produk RIM di Indonesia. Dilihat dari posisi merk/brand handphone secara umum yang paling banyak dicari dalam search engine Yahoo Indonesia sepanjang 2011, ternyata Blackberry ini menduduki peringkat 10 melalui salah satu produknya, Blackberry Onyx. Sementara untuk kategori smartphone, Blackberry menduduki peringkat ke dua di Indonesia berdasarkan survey Nielsen pada bulan Oktober 2011 yang lalu, dengan market share sebesar 11%, masih di bawah Nokia yang masih menguasai pasar smartphone Indonesia dengan market share sebesar 22%
Katakanlah ini peringkat kasar dari produk RIM yang berbentuk hardware (smartphone) yang masuk ke pasar Indonesia. Tapi jangan lupa, berbeda dengan manufacturer handphone yang lain (Samsung, Nokia, Sony Ericsson, etc), RIM mem-bundle produknya tersebut dengan paket layanan data yakni BIS (Blackberry Internet Service) dan BES (Blackberry Enterprise Service). Berkat layanan data ala RIM ini, handphone Blackberry bisa menjadi lebih smart dan punya nilai lebih (value added) hingga akhirnya mampu merebut market share dengan segmentasi khusus dalam persaingan bisnis handphone Indonesia yang terkenal volatile namun potensinya luar biasa. Bisa jadi BIS/BES, Blackberry akan menjadi handphone biasa, dan tak akan mampu mencatat penjualan yang bagus di Indonesia. Kita ketahui bahwa layanan BIS/BES dikemas/di-bundling melalui kerjasama dengan operator seluler di Indonesia selaku pemilik jaringan lokal. Berdasarkan laporan teknojournal.com , bahwasanya pelanggan BIS/BES di tanah air adalah sejumlah sekitar 3 juta pengguna sepanjang tahun 2011, dengan Telkomsel yang memliki pelanggan Blackberry terbanyak dengan 2,5 juta pelanggan, disusul dengan XL dan Indosat dengan masing-masing 750 ribu dan 100 ribu pelanggan. Berarti total pengguna handphone Blackberry di Indonesia minimal adalah sejumlah nilai tersebut, ditambah dengan sejumlah pengguna Blackberry yang tidak berlangganan paket BIS/BES (hanya memfungsikan Blackberry seperti handphone biasa).
Baiklah, setelah mendapat data jumlah pelanggan Blackberry, mari kita coba menghitung berapa revenue yang didapat RIM untuk pasar Indonesia saja. Paket BIS operator rata-rata adalah Rp 100 ribu per bulan. Ternyata 7 dolar (sekitar Rp 65 ribu) nya dibayarkan ke RIM, sisanya adalah pendapatan operator seluler (sebelum kena pajak). Berarti revenue share RIM – Operator seluler Indonesia adalah 65% : 35%. Ini artinya RIM mendapat porsi yang lebih besar walaupun yang memiliki infrastruktur adalah operator seluler lokal. Jika kita gali lebih dalam lagi, revenue yang didapat RIM dari Indonesia adalah USD 7 dikali 3 juta pelanggan, kira-kira USD 21 juta atau sekitar Rp 189 miliar perbulan atau Rp 2,3 triliun per tahun! (sumber : republika.co.id). Dan seperti yang disinyalir oleh Bp Tifatul Sembiring selaku Menkominfo, bahwa semua revenue tersebut diperoleh RIM tanpa bayar pajak dan tanpa bangun infrastruktur apapun di Indonesia! Inilah sebenarnya awal mula ‘perseteruan’ RIM dan pemerintah RI yang diwakili Kementerian Kominfo. Menkominfo meminta setidaknya lima butir kesepakatan dengan RIM sebagai bentuk ‘kompensasi’ atas keuntungan (dan kemudahan) yang diperoleh RIM di Indonesia, yakni membangun service center di Indonesia, menggunakan konten lokal, memblokir situs pornografi, membuka akses data kepada aparat penegak hukum di Indonesia jika diperlukan dan terakhir mendirikan server di Indonesia. Tiga point awal sudah dipenuhi RIM, itupun tanpa memeras keringat dan merogoh kocek yang dalam. Service center sudah didirikan, namun atas ‘bantuan’ dealer di Indonesia, konten lokal sudah di-adopt walaupun belum dominan, sementara pemblokiran situs porno di Blackberry pun sudah dilakukan, namun (lagi-lagi) tanpa effort yang signifikan, yakni hanya dengan mengubah routing DNS ke DNS Nawala, sebuah Yayasan nirlaba yang didukung pemerintah. Untuk akses data kepada penegak hukum, RIM sebenarnya welcome, namun pihak yang berwenang harus datang ke markas RIM yakni Kanada. Tak terbayang kerumitan dan pemborosan yang akan dihadapi. Dan yang terakhir permintaan developing server/network aggregator di Indonesia yang sampai dengan akhir tahun 2011 ini belum juga dipenuhi RIM.
Bisnis vs nasionalisme
Bisa dipahami (dan harus kita dukung) betapa pemerintah begitu ngotot untuk memperjuangkan lima poin di atas dalam hubungan B2B dengan RIM selaku pelaku bisnis telekomunikasi di Indonesia. Kementrian Kominfo selaku pemegang amanat UU ITE No 11/2008 pasal 40 tentang ‘Peran Pemerintah dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi Nasional’ dan sebagai regulator punya hak (bahkan wajib) mengatur segala sesuatunya yang berhubungan kegiatan telematika di tanah air termasuk di dalamnya adalah dengan urusan bisnis dengan vendor luar, agar masing-masing bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. RIM selaku vendor internasional yang melakukan penetrasi bisnis di Indonesia seharusnya juga memegang teguh prinsip ‘dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung’, artinya harus menghormati hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Entah ada peribahasa tersebut atau tidak di Kanada, namun yang jelas di Indonesia ada UU ITE No 11/2008 pasal 15 yang mengatur tentang ‘Penyelenggaraan Sistem Elektronik’. Ini harusnya benar-benar dipahami RIM sebelum masuk ke pasar Indonesia, jangan hanya sekedar mengeruk keuntungan semata. Apalagi kabarnya RIM hanya menaruh network element setingkat router -itupun di Singapura- setelah sebelumnya mereka menyatakan bahwa RIM membangun pabrik Blackberry di Malaysia. Kita sebagai bangsa merasa terhenyak dengan informasi tersebut. Betapa tidak, pasar terbesar Blackberry ada di Indonesia, yang berarti potensial revenue terbesar RIM ada di negara ini. Mengapa tidak ada imbal balik yang sepadan? Kita harusnya mendukung langkah-langkah pemerintah untuk menekan RIM, bahkan jika suatu saat nanti pemerintah benar-benar melaksanakan ancamannya (memblokir layanan BIS) nanti jika tidak memenuhi permintaan pemerintah. Di lain pihak, pemerintah harusnya mendukung aplikasi-aplikasi lokal yang fungsinya sama/mendekati aplikasi Blackberry, karena penulis yakin kita mampu membuat aplikasi atau layanan yang setara dengan BIS ala RIM, asal didukung oleh pemerintah dan masyarakat sebagai end user.
Pentingnya network aggregator Blackberry di Indonesia
Sekarang mari kita coba kaji lebih dalam tentang pentingnya server atau network aggregrator Blackberry di Indonesia secara teknis. Perbedaan utama adalah berkurangnya trafik data inbound/outbound dari Indonesia ke server RIM di Kanada secara signifikan. Trafik internasional (ke luar negeri) hanya tinggal dari trafik browsing internet yang diakses melalui handset Blackberry dengan destinasi web/IP luar negeri (misal: facebook.com) dan layanan email dari provider email luar negeri (yahoo, gmail, etc), sementara trafik BBM (Blackberry Messenger) tidak perlu ke server RIM di Kanada namun langsung diroutingkan kembali ke Indonesia. Penulis perkirakan, server RIM lokal ini akan mampu menghemat bandwidth ke luar negeri sebanyak 50% dari utilisasi eksisting. Impact-nya adalah tarif BIS yang (harusnya bisa) lebih murah karena beban sewa bandwidth luar negeri menjadi berkurang, dan kecepatan data akan naik secara signikan karena data hanya akan berputar-putar di cloud domestik (latency lebih kecil) dan memotong hop transmisi data yang tadinya lebih panjang karena harus menempuh perjalanan routing ke server RIM Kanada. Dari sisi end user, pelanggan Blackberry akan mengalami experience data yang lebih cepat dan nyaman seperti misalnya chatting BBM tidak lagi lemot, browsing lebih cepat, push email yang lebih real time, dsb. Berikut gambar ilustrasi dari penjelasan penulis di atas

Summary and Strategy
Menurut penulis, dalam menghadapi situasi yang ‘panas’ menghadapi RIM saat ini, perlu strategi khusus agar bisa memenangkan ‘pertempuran’. Yang pertama kita lihat dulu trend Blackberry globally vs locally (Indonesia). Berdasarkan penelusuran penulis, ternyata market share Blackberry justru menurun di tanah airnya sendiri (Amerika) dari 53% di tahun 2009 menjadi hanya 13% di 2011, sementara di Indonesia justru menunjukkan trend sebaliknya, dari ‘cuma’ 9% di tahun 2009 meningkat tajam menjadi 47% di tahun 2011 (sumber : online.wsj.com)
Data yang kedua yang perlu kita cermati adalah shipment produk Blackberry secara worldwide. Dari grafik ternyata selain Nokia pengiriman smartphone Blackberry (RIM-warna hijau) juga mengalami penurunan tajam mulai Quarter 1 tahun 2011.

Ternyata ini dipicu dengan menggeliatnya produk Google dengan Android-nya dan Apple dengan IOS-nya yang mulai menggerus market share Blackberry (wikipedia)
Dan yang terakhir, kondisi perusahan (RIM) itu sendiri. Kita dapat mengetahui gambaran kondisi perusahan secara kasar melalui harga sahamnya. Di akhir tahun 2011 ini harga saham RIM menunjukkan performa negatif, bahkan sampai -76,9%., sampai-sampai petinggi RIM harus rea menerima gaji 1 USD setahun setelah diultimatum stakeholders agar segera mengembalikan kondisi perusahaan ke masa jayanya lagi (sumber: detik.com)
Berangkat dari data dan fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa kondisi perusahan RIM tengah mengalami downtrend secara global, kecuali di Indonesia. Sekali lagi kecuali di Indonesia. Ya, posisi kita begitu strategis di mata RIM khususnya di tahun 2011. Seharusnya ini bisa meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam proses negosiasi dengan pihak RIM. Kita harus berani mengatakan bahwa kita adalah mitra strategis, bukan sapi perahan. Dengan negosiasi ulang, seharusnya banyak manfaat yang diperoleh kedua belah pihak, dari sisi RIM bisnisnya terus berkembang di Indonesia, dilain pihak masyarakat Indonesia bisa memperoleh layanan yang reliable dengan tarif yang lebih ekonomis.Pemerintah pun mendapat keuntungan yakni akses data yang lebih mudah, sementara operator seluler lokal harusnya juga bisa mendapat porsi revenue share yang lebih layak.
a Technopreneur – writer – Enthusiastic about learning AI, IoT, Robotics, Raspberry Pi, Arduino, ESP8266, Delphi, Python, Javascript, PHP, etc. Founder of startup Indomaker.com